Halaman

Kamis, 31 Maret 2011

Pidato Pengukuhan


PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

Potensi Pemanfaatan Teknologi Perbenihan untuk Mendukung Akuakultur Restorasi dalam Rangka Konservasi Sumberdaya Perikanan

Yang terhormat, Rektor Universitas Nusa Cendana
Yang saya hormati, Pimpinan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Yang saya hormati, para Profesor Universitas Nusa Cendana
Yang saya hormati, Ketua dan Anggota Senat Universitas Nusa Cendana
Yang saya hormati, para Pembantu Rektor
Yang saya hormati, para Dekan dan Pembantu Dekan
Yang saya hormati, Ketua dan Sekretaris Lembaga
Yang saya hormati, para Kepala Biro
Yang saya hormati, para Kepala Pusat, Kepala UPT
Yang saya hormati, para Ketua Jurusan/Sekretaris Jurusan/ Yang saya hormati,Program Studi/Bagian
Yang saya hormati, para Kepala Bagian dan Sub Bagian
Yang saya hormati, para Dosen
Yang saya hormati, Pimpinan Ormawa dan Pengurus HMJ Perikanan dan Kelautan
Yang saya hormati, dan saya muliakan para undangan dan seluruh hadirin

Hadirin yang berbahagia, Sidang akademik yang saya hormati, selamat pagi, salam sejahtera
Pada hari yang berbahagia ini saya dan keluarga mendapat kehormatan karena dikukuhkan sebagai Profesor dalam bidang ilmu kelautan dan perikanan.  Hal ini merupakan penghargaan tertinggi bagi saya sebagai seorang yang diberi amanah untuk mendidik dan mendampingi sebagian generasi penerus bangsa ini.  Sesungguhnya saya merasa sangat kecil untuk meyandang jabatan ini karena berbagai keterbatasan yang saya miliki dalam hal keilmuan dan pengalaman.

Tentu saja, untuk sampai pada tahap ini saya telah mempelajari banyak hal tentang bidang kelautan dan perikanan, dan secara mendalam tentang Reproduksi dan Perbenihan organisme laut.  Semakin saya belajar, semakin saya menyadari keterbatasan saya; bahwa masih begitu banyak hal yang belum saya ketahui dan perlu saya pelajari lebih dalam.  Dari proses belajar yang panjang tersebut saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa ilmu yang saya pelajari sebenarnya mengajarkan saya untuk lebih mengerti dan memahami alam ciptaan Tuhan dan, dengan demikian semoga dapat mengendalikan diri untuk hidup lebih selaras dengan alam; bukannya untuk mengendalikan alam.  Bertolak dari pemahaman tentang pengendalian diri ini, saya membuka orasi saya dengan mengutip pendapat sebagai berikut:
 “Nature provides a free lunch, but only if we control our appetite”
William D. Ruckleshaus as quoted by Elliot A. Norse and Larry B. Crowder (2005)-- Marine Conservation Biology

Judul orasi yang saya bawakan adalah:
Potensi Pemanfaatan Teknologi Perbenihan untuk Mendukung Akuakultur Restorasi dalam Rangka Konservasi Sumberdaya Perikanan

I.        Kondisi Perikanan Tangkap Dunia
Kegiatan perikanan merupakan salah satu penyumbang utama pangan bagi penduduk dunia.  Sebesar 110 juta ton yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan dan budidaya pada tahun 2006 dikonsumsi oleh penduduk dunia yang berarti produk perikanan menyumbangkan sekitar 16,7 kg per kapita atau sekitar 18,5% protein hewani (FAO, 2009).  Populasi penduduk dunia yang terus meningkat, dan pada saat yang sama, terjadi perubahan diet dari daging ternak ke produk-produk perikanan terutama di negara-negara maju, membuat konsumsi per kapita diperkirakan meningkat hingga 19-20 kg/kapita pada tahun 2030 sehingga diperlukan sedikitnya 150-160 juta ton (Williams, 1999; USAID SPARE, 2004). 
Peningkatan permintaan akan produk perikanan memacu industri perikanan untuk terus meningkatkan produksi sehingga terjadi pemanfaatan berlebih (overexploitation) sumberdaya hayati di berbagai perairan dunia.  Berbagai stock (sediaan) dan species ikan telah berkurang kelimpahannya, bahkan beberapa di antaranya telah runtuh (collaps) dan tidak mampu lagi menghasilkan ikan, terutama species-species ikan besar dan tipe peruaya (migratory) seperti berbagai jenis tuna (FAO, 2009).   Sekitar 80 persen stok perikanan dunia telah memasuki tahapan termanfaatkan penuh, termanfaatkan lebih, atau deplesi (FAO, 2009).  Kondisi ini menyebabkan hasil tangkapan di alam tidak dapat ditingkatkan lagi dan, sejak tahun 1980-an, produksi sudah stagnan pada kisaran 80-an juta ton per tahun (Pauly et al., 2005; FAO, 2009).  Diperkirakan produksi sebesar ini masih bisa dipertahankan beberapa tahun lagi oleh adanya input teknologi yang lebih maju serta perambahan bagian-bagian perairan yang belum dieksploitase (Pauly, 2005).  Hal ini berarti, produksi saat ini lebih disebabkan oleh adanya peningkatan upaya penangkapan dan perluasan areal penangkapan; bukannya oleh produktivitas perairan yang telah dieksploitase selama ini.  Peningkatan eksploitase, melalui peningkatan jumlah dan kemampuan armada penangkapan ini yang menimbulkan apa yang populer disebut tragedy of the commons yang timbul sebagai akibat dari “too many boats chasing too few fish” (Norse and Crowder, 2005).

Kondisi yang sama terjadi di Indonesia, dimana pertumbuhan penduduk membuat permintaan akan produk perikanan semakin besar.  Peningkatan permintaan ini, selain sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk Indonesia, juga oleh adanya kebijakan pemerintah untuk menggalakkan asupan protein hewani bersumber ikan.  Sejak akhir abad ke-20 hingga sekarang, produk perikanan selalu menduduki urutan kedua setelah pangan karbohidrat (biji-bijian) dalam diet orang Indonesia; ikan dikonsumsi lebih banyak dibandingkan legume, sayuran dan buah, serta telur dan daging ternak (BPS, 2008).   Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan konsumsi ikan secara bertahap dari 7 kg/kapita/tahun di awal tahun 2000 menjadi sekitar 30 kg/kapita/tahun pada akhir tahun 2010 (DKP, 2008) .  Jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan di Malaysia dan Jepang, yang masing-masing telah mencapai 45 dan 60 kg/kapita/tahun, angka ini terbilang rendah dan kemungkinan akan terus ditingkatkan(DKP, 2008).  Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 235 juta jiwa di tahun 2010, maka maka pada tahun ini saja dibutuhkan produksi perikanan sebesar 7 juta ton per tahun (DKP, 2008).  Semakin besarnya kebutuhan ikan membuat eksploitase sumberdaya memasuki tahap yang mengkhawatirkan; banyak wilayah penangkapan yang subur mengalami penurunan produksi.  Dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia, enam di antaranya telah memasuki tahapan tangkap lebih, terutama daerah penangkapan di bagian barat (DKP, 2008).  Diperkirakan, jika tingkat eksploitase saat ini terus dipertahankan, maka jumlah WPP yang memasuki tahap kritis akan terus meluas hingga ke perairan timur Indonesia, termasuk perairan Nusa Tenggara Timur, akibat ekspansi armada perikanan dari bagian barat Indonesia.  

Sayang sekali isu overfishing belum dianggap sebagai masalah yang harus diatasi segera (NRC, 2006).  Para pemegang kebijakan perikanan atau industri perikanan banyak yang tidak menyadari atau melalaikan dampak dari kondisi ini.  Beberapa kalangan industri perikanan bahkan percaya bahwa, “the stocks are not declining, they are changing location” (Pauly et al., 2005).  Apalagi, para akhli perikanan sendiri seringkali ikut menyumbang akan kelalaian atau ketidakpedulian ini melalui publikasi data, seperti data potensi atau maximum sustainable yield (MSY), yang terlalu optimistik yang mendorong eksploitase sumberdaya semakin diintensifkan (Pauly, 1996; Hambler, 2004).   Kebijakan penambahan armada dan introduksi teknologi maju memberikan gambaran bahwa potensi kelautan masih dianggap sangat melimpah dan menunggu dipanen.

Kejadian overfishing seyogianya tidak hanya dianggap mengakibatkan penurunan produksi perikanan semata, melainkan harus dipandang sebagai ancaman terhadap seluruh ekosistem perairan dan biodiversitas (NRC, 2006).  Meskipun overexploitation tidak serta merta menyebabkan penurunan produksi perikanan, akan tetapi stok ikan tertentu mungkin terus berkurang dan akhirnya terjadi kepunahan species secara local atau regional serta hilangnya fungsi populasi (Gray, 1997).  Sebenarnya, ketika fungsi populasi hilang, maka suatu species telah mengalami kepunahan ekonomis dan ekologis, meskipun di dalam populasi masih tersisa beberapa individu (Norse and Crowder, 2005; Myers and Ottensmeyer, 2005). 

Dampak lain dari overfishing adalah berubahnya struktur populasi.  Kegiatan penangkapan biasanya memusatkan perhatian pada species target berupa ikan-ikan predator ekonomis penting yang berukuran besar (Myers dan Worm, 2003).  Predator besar seperti ini seringkali jumlahnya terbatas, lambat memasuki masa reproduksi atau memiliki reproductive rate yang rendah dan kemungkinan telah tertangkap sebelum menghasilkan recruitment baru, atau karena membutuhkan suatu kondisi lingkungan spesifik sehingga sangat rentan terhadap deplesi populasi (Hambler, 2004; Allan et al., 2005; Heppel et al., 2005;  Myers and Ottenmeyers, 2005).   Berbagai jenis ikan predator, terutama Bluefin tuna (Thunnus thynnus) dan tuna (Thunnus spp), yang merupakan ikan-ikan yang paling banyak ditangkap, termasuk di Indonesia, populasinya terus menurun dan sudah dimasukkan dalam daftar IUCN sebagai “species kritis”  (Myers and Worm, 2003; Preikshot and Pauly, 2005; Kaeriyama, 2008).  Hilangnya populasi top predator akan mengubah jejaring makanan secara top-down di perairan, yang dikenal sebagai cascading effects atau trophic cascade, terutama pola hubungan pemangsa-mangsa yang mengakibatkan dominannya species-species tertentu sehingga dinamika jejaring makanan terganggu dan mengancam kelestarian ekosistem (Hambler, 2004; Allan, et al., 2005; Preikshot and Pauly, 2005; NRC, 2006). 

Dampak langsung kegiatan penangkapan tidak berhenti pada hilangnya top predator saja, tetapi terus berlanjut setelah penangkapan beralih ke trophic level yang lebih rendah;  suatu kondisi yang dikenal sebagai “fishing down the food web” (Pauly et al., 1998).  Kondisi ini selanjutnya akan diikuti oleh “fishing through the food web”, dimana setelah ikan-ikan predator utama habis, maka jumlah ikan mangsa yang lolos dari pemangsa akan menjadi target selanjutnya dari kegiatan penangkapan hingga akhirnya berkurang juga (NRC, 2006).  Mengingat overfishing menyebabkan penurunan rata-rata ukuran ikan, maka nelayan akan mengurangi ukuran mata jaring agar mampu menangkap ikan dari berbagai ukuran dan dari berbagai species; suatu tindakan yang mempercepat keruntuhan populasi (Allan et al., 2005).  Oleh karena itu, pengaruh overfishing tidak hanya berhenti pada species-species target, tetapi ikut mempengaruhi seluruh ekosistem yang mengarah pada hilangnya biodiversitas, bahkan punahnya  seluruh stok perikanan dari berbagai trophic level di suatu wilayah (Gray, 1997; Pauly, 2005;  NRC, 2006).  

Tanpa adanya penerapan pengelolaan perikanan yang tepat, maka rusaknya fungsi populasi di suatu wilayah, akan menimbulkan efek domino pada populasi-populasi di tempat lainnya yang mengancam biodiversitas.  Seiring dengan menurunnya populasi ikan di suatu daerah, pengusaha perikanan akan memindahkan daerah operasinya ke ekosistem lain yang belum terjamah.  Input teknologi yang semakin maju, seperti remote sensing (penginderaan jauh), GPS, radar dan sonar, echo-sounder, kapal-kapal yang lebih kuat dan alat tangkap yang lebih besar kapasitasnya, serta metode prosessing yang lebih maju, memungkinkan manusia merambah hingga ke bagian perairan yang sebelumnya tidak terjamah, seperti perairan jauh (high seas), laut dalam, serta habitat paparan benua dan pegunungan laut (FAO, 1997; Nellemann et al., 2008).  Kapal-kapal perikanan sekarang beroperasi pada kedalaman 400 m, bahkan seringkali hingga 1.500 – 2.000 m (Morato et al., 2006).   Dengan target berupa species baru, yang populasinya masih melimpah, operasi penangkapan seperti ini seringkali sangat sukses selama 2-3 tahun pertama.  Akan tetapi, kesuksesan penangkapan species baru tersebut berumur pendek dan segera diikuti oleh runtuhnya stok –suatu fenomena yang dikenal sebagai “boom and bust cycle” – sebagaimana yang dialami oleh populasi ikan di perairan pantai (Pauly et al., 1998;  Morato et al., 2006;  Nellemann et al., 2008).  Penangkapan yang berlebihan dan meluas ini akan menyebabkan lebih banyak lagi species yang mendekati kepunahan menjelang tahun 2050 jika pola pemanfaatan berteknologi tinggi yang selama ini dipraktekkan tidak dikendalikan (Pauly, 2003).  Kepunahan ini tidak hanya mengancam species yang menjadi target operasi, tetapi juga species ikan yang tidak memiliki nilai jual dan tertangkap sebagai bycatch.  Kondisi ini lebih diperparah lagi oleh  cara-cara penangkapan yang merusak seperti: penggunaan peledak dan racun menjadi ancaman tersendiri bagi sumberdaya perikanan di berbagai negara (Pauli et al., 2005).  Menurut The international Union for Conservation of Nature (IUCN) di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat ketiga setelah Malaysia dan Filipina yang mengalami kepunahan species paling banyak.  Tercatat 1.108 species telah hilang (IUCN, 2009).

Selain oleh overfishing, ada empat factor lainnya yang berkontribusi terhadap penurunan dan kepunahan populasi ikan.  Faktor-faktor tersebut adalah: i) fragmentasi dan hilangnya habitat; ii) polusi, terutama eutrofikasi dari daratan, iii) species invasive dan, iv) perubahan iklim global (Gray, 2001;  Norse and Crowder, 2005;  Richmond, 2005;  NRC, 2006;  and Nellemann et al., 2008).  Ketiga factor pertama erat kaitannya dengan semakin intensifnya pembangunan ke wilayah pesisir (Gray, 1997; Nellemann, et al., 2008).  Kebanyakan kota-kota terbesar di dunia, termasuk di Indonesia, yang memiliki pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi berada di wilayah pesisir sehingga tekanan terhadap ekosistem pantai akan terus meningkat setiap tahun (Creel, 2003;  Kay and Alder, 2005). Akibatnya, di masa depan fragmentasi dan rusaknya ekosistem pantai seperti mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria, rawa masin, pasir dan dataran lumpur, akan semakin sering terjadi yang akan diiringi oleh proses polusi, eutrofikasi dan siltasi yang semakin meluas dan persisten;  seluruhnya mengancam keberadaan sumberdaya hayati di pesisir (USAID SPARE, 2004).  Hal ini merupakan masalah utama di negara seperti Indonesia dimana pusat-pusat keanekaragaman hayati kebanyakan berada dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan penduduk (Gray, 1997).   Perairan di Kepulauan Indonesia merupakan pusat kekhasan samudra yang menjadi sumber keanekaragaman bagi wilayah lautan lainnya, termasuk untuk laut dalam (Gray, 2001).  Jika perairan di Indonesia tidak dilindungi akan mengancam ke anekaragaman hayati di berbagai perairan lainnya. Di lain pihak, ancaman terhadap biodiversitas juga ditimbulkan oleh perubahan iklim yang tidak hanya mengubah suhu perairan dan pola badai, tetapi juga mengubah sirkulasi arus dan frekuensi El NiƱo Southern Oscilation (ENSO) yang mempengaruhi produktivitas perairan dan mengancam ekosistem pantai, terutama terumbu karang (Myers and Ottenmeyers, 2005).

Untuk Nusa Tenggara Timur, kondisi overfishing belum dapat diyakinkan secara statistic.  Produksi perikanan tangkap dalam kurun waktu 2000-2008 tetap menunjukkan pertumbuhan sekitar 4% per tahun.  Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan NTT, produksi perikanan NTT baru sekitar 240 ribu ton atau sekitar 25% MSY (DKP Prop NTT, 2007).  Akan tetapi, jika memperhatikan bahwa praktek penangkapan yang illegal, unreported and unregulated (IUU Fishing) di NTT cukup tinggi, ada kemungkinan data produksi perikanan yang dilaporkan jauh lebih rendah daripada jumlah yang telah dieksploitase.  Menurut Komnas Pengkajian Stok Nasional, beberapa bagian perairan di NTT telah memasuki tahap termanfaatkan penuh.  Laut Sawu, misalnya, yang mendukung sekitar 70% aktivitas perikanan nelayan NTT, telah digolongkan sebagai daerah penangkapan yang fully exploited.  Selain itu, sebagaimana di tempat lain, tingkat pemanfaatan wilayah perairan tidak merata.  Sekitar 80% nelayan di NTT hanya beroperasi di perairan pantai (< 12 mil laut).  Dengan tingkat pertumbuhan nelayan sekitar 2% per tahun, maka daerah penangkapan di perairan pantai akan semakin padat dan tertekan.  Selain itu, praktek penangkapan yang merusak masih banyak dipraktekkan di perairan ini dan, pada saat yang sama gangguan terhadap ekosistem pantai terus meningkat.  Dalam satu dasa warsa belakangan ini, terumbu karang di NTT berkurang sekitar 40% sedangkan areal mangrove menyusut sekitar 50%.  Kondisi-kondisi seperti ini memperbesar peluang terjadinya penurunan kelimpahan ikan di berbagai ekosistem pantai di provinsi ini.  Pengalaman memperlihatkan bahwa berbagai jenis sumberdaya pantai seperti lola, abalone, kimah raksasa, teripang, berbagai jenis koral dan ikan karang semakin sulit ditemukan di habitat alaminya (Gimin, 2006).

Too often, the underwater world has been out of sight, out of mind when it comes to funding basic science and developing policies for biodiversity management and conservation.  When a rainforest is clear cut, the world takes notice; but when a trawler scours away all the seabed life in its path, there’s no one to see”—David Greer and Brian Harvey, 2004-THE BLUE GENE.

II.  Perikanan Budidaya (Akuakultur)
Untuk mempertahankan konsumsi produk perikanan perkapita penduduk diperlukan sumber perikanan lainnya.   Hingga saat ini defisit pasokan produk perikanan, terutama species karnivora yang bernilai tinggi, dipenuhi oleh adanya penggalakan kegiatan budidaya di berbagai negara.  Selama kurun waktu 2002-2006, produksi budidaya meningkat dari 40,4 juta ton menjadi 51,7 juta ton atau bertumbuh sekitar 7 persen.  Pada periode yang sama, produksi perikanan tangkap berfluktuasi antara 81,5 juta ton – 85,7 juta ton dan mengalami penurunan rata-rata 1 persen (FAO, 2009).   
Adanya kenyataan bahwa kebutuhan pangan dunia dan nasional terus meningkat dan, pada saat yang sama, produksi perikanan tangkap tidak dapat lagi ditingkatkan secara signifikan, menumbuhkan harapan bahwa di masa depan akuakultur dapat menjadi pemasok utama produk perikanan yang menggantikan posisi perikanan tangkap.  Harapan ini diteguhkan oleh prestasi yang dicapai oleh China yang mampu mencapai produksi perikanan budidaya yang melampaui produksi perikanan tangkapnya.  Pada tahun 2006, produksi perikanan tangkap China yang meliputi perairan laut dan perairan umum hanya mencapai 17,1 juta ton, sedangkan produksi perikanan budidaya telah mencapai 34,4 juta ton (FAO, 2009).  Perkembangan budidaya yang menggembirakan juga terjadi di Indonesia.  Meskipun produksi budidaya baru menyumbangkan sekitar 39% produksi perikanan, sub-sektor perikanan ini bertumbuh sekitar 22,9% per tahun dibandingkan perikanan tangkap yang hanya berkisar 2,9% (Kopot, 2009). 

Meskipun perikanan budidaya akan mampu menghasilkan produksi yang melampaui perikanan tangkap, namun tidaklah diharapkan bahwa perikanan budidaya menjadi pengganti perikanan tangkap sebagai pemasok produk kelautan, melainkan pertumbuhan keduanya harus diselaraskan (NRC, 2006;  Bell et al., 2008).  Selain itu, meskipun selama dua dasawarwa terakhir sektor ini mengalami pertumbuhan yang pesat, tingkat pertumbuhan ini diramalkan tidak akan bertahan di masa depan, terutama jika praktek dan kebijakan budidaya yang selama ini diterapkan tidak diubah secara drastis (Wu, 1995; Hickman and Tait, 1997).  Bagi sementara pihak, perikanan budidaya menimbulkan paradox: saints or sinners; merupakan penyelesaian masalah dalam pasokan produk perikanan, sekaligus merupakan ancaman utama yang merusak perikanan tangkap (Gross, 1998;  Naylor et al., 2000). 

2.1.  Akuakultur Produksi vs Akuakultur Restorasi
Jika kita berbicara tentang perikanan budidaya yang mampu mempertahankan pasokan produk yang tidak mampu lagi dipasok hanya oleh kegiatan penangkapan, maka kita berbicara dalam domain akuakultur produksi (Production Aquaculture).   Dengan akuakultur yang konvensional ini kita mampu memasok berbagai produk perikanan dalam kuantitas yang memadai, homogen dengan spesifikasi sesuai tuntutan pasar, dengan kemampuan pasokan yang hampir tidak terbatas musim, menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan devisa, serta  menjamin ketahanan pangan (Swick and Cremer, 2001;  Pillay and Kutty, 2005). 

Akan tetapi, dengan tipe akuakultur ini juga yang merupakan salah satu yang mengancam keberlanjutan perikanan tangkap melalui berbagai dampak yang ditimbulkannya.  Penggunaan tepung ikan dan minyak ikan sebagai bahan pakan dianggap sebagai tindakan tidak bijaksana karena mengorbankan ikan untuk menghasilkan ikan yang akan menyebabkan hilangnya sumber protein hewani bagi manusia (Helfman, 2007).  Budidaya ikan, terutama ikan karnivor seperti kerapu, tuna atau udang, membutuhkan input berupa ikan lain dari trophic level rendah yang berharga murah atau bycatch yang diolah menjadi tepung dan minyak ikan.  Sekitar sepertiga (33 juta ton) total produksi perikanan tangkap diubah menjadi tepung dan minyak ikan (FAO, 2009);  kegiatan budidaya menggunakan 40% produksi tepung ikan dan 75% produksi minyak ikan (USAID SPARE, 2004).  Naylor et al. (2000) menyebut kondisi ini sebagai “farming up the food web”.  Meskipun ikan dan hewan air lainnya tergolong efisien dalam konversi makanan, yaitu berkisar 1,5 – 5, dibandingkan kebanyakan ternak darat (Pillay dan Kutty, 2005), tetapi untuk menghasilkan sejumlah ikan budidaya dibutuhkan lebih banyak lagi biomassa ikan lainnya (Helfman, 2007).  Hal ini telah meningkatkan eksploitase sumberdaya perikanan, terutama pada ikan-ikan dari dasar rantai makanan yang kurang dihargai di masa lalu. 

Selain dampak langsung dari ekploitase ikan di alam untuk bahan pakan, menurut Naylor et al. (2000) akuakultur juga berpengaruh negatif tidak langsung melalui tindakan-tindakan seperti:  i) modifikasi habitat, terutama dalam mengkonversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan; ii) pengambilan benih ikan dari alam atau penangkapan induk alam untuk keperluan hatchery yang akan mengurangi rekruitmen di alam; iii) introduksi species dari luar yang akan mengganggu ekosistem di daerah penerima; iv) penularan patogen dan penyakit ke populasi ikan di alam, dan  v) polusi organik akibat penggunaan pakan buatan yang berprotein tinggi dalam jumlah besar seperti dalam budidaya udang di tambak atau ikan karnivor di karamba jaring apung.  Alih-alih membantu menutupi defisit produksi perikanan, efek lingkungan yang ditimbulkannya menjadikan akuakultur sebagai salah satu ancaman bagi perikanan tangkap.  Environmentalis seperti Vandana Shiva mencela akuakultur sebagai upaya yang hanya memuaskan kebutuhan masyarakat di negara maju dengan mengorbankan masyarakat dan lingkungan alam di negara miskin (Shiva, 1999).  Dengan kondisi semacam ini, akuakultur tidak dapat diharapkan menjadi jawaban akan masalah kekurangan pangan, karena yang memperoleh manfaatnya lebih banyak adalah negara-negara yang tidak mengalami kekurangan pangan (Greer and Harvey, 2004).  Dengan melihat pengaruh negatif dari kegiatan budidaya terhadap perikanan tangkap, sejak tahun 1990-an bertumbuh kesadaran bahwa kegiatan budidaya seyogianya tidak mengganggu keberlanjutan perikanan.   

Untuk kepentingan ekonomis dan ekologis, sector budidaya diharapkan mampu membantu mempertahankan perikanan tangkap.  Ada domain baru dari akuakultur yaitu: akuakultur konservasi atau akuakultur restorasi yang tujuan utamanya adalah menggantikan sumberdaya perikanan yang telah hilang (Richmond, 2005).  Menurut NOOA (2008), akuakultur restorasi mencakup pemanfaatan teknologi budidaya, terutama teknologi perbenihan (hatchery), untuk memulihkan sumberdaya perikanan yang terancam populasinya dan mengarah ke kepunahan, atau memanfaatkan teknologi budidaya sebagai salah satu management tool pengelolaan perikanan tangkap.  Dalam prakteknya, pemanfaatan teknologi budidaya terutama dimanfaatkan dalam program stock enhancement (pemulihan sediaan alami).

2.2.  Peranan Teknologi Perbenihan (Hatchery)
Teknologi perbenihan (hatchery) merupakan hal yang esensial dalam kegiatan budidaya produksi yang selama ini dikenal.  Melalui hatchery dapat dihasilkan benih ikan dalam jumlah yang cukup oleh adanya kemampuan memanipulasi induk dan mengendalikan kelulushidupan selama tahap awal daur hidup. 
Manfaat hatchery antara lain:  i) meningkatkan derajad fertilisasi.  Kebanyakan organisme akuatik merupakan broadcast spawner yang pembuahannya terjadi dalam kolom air.  Pada pembuahan seperti ini, peluang pertemuan sperma dan telur sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan dan jumlah induk yang memijah.  Jika jumlah induk yang memijah terbatas, maka konsentrasi gamet yang dihasilkan akan rendah sehingga keberhasilan pembuahan juga akan rendah.  Di hatchery, konsentrasi gamet dapat diatur sehingga pembuahan dapat berlangsung normal (Gimin, 2005);  ii) meningkatkan kelulushidupan dan pertumbuhan ikan pada tahap-tahap awal daur hidup.  Dengan mengurangi factor-faktor pembatas seperti: predator, penyakit, kekurangan makanan, kualitas air yang buruk, kelulushidupan dan pertumbuhan di hatchery dapat ditingkatkan secara menyolok.  Tingkat kelulushidupan dari telur hingga menetas di hatchery bisa mencapai 90%, sedangkan di alam hanya sekitar 10% (Gardner et al., 2004);  iii) melestarikan sifat genetis tertentu melalui selective breeding; menyelamatkan species hampir punah dan menghasilkan larva dalam jumlah besar meskipun dengan induk yang terbatas jumlahnya.  Hewan-hewan perairan umumnya memiliki fekunditas yang sangat tinggi (Lorenzen, 2005) sehingga dengan jumlah induk yang terbatas, dapat dihasilkan larva dalam jumlah besar.  Jika jumlah induk sangat terbatas sehingga kesempatan bertemu sangat kecil, maka tidak akan terjadi pembuahan.  Di hatchery, induk yang sangat sedikit atau dari lokasi yang berbeda dapat disilangkan untuk menghasilkan hibrida atau larva dengan fenotip yang diinginkan dalam jumlah besar;  iv)  mempercepat dan mengatur laju kematangan gonad serta rematurasi induk.  Dengan memanipulasi pakan dan kualitas air, dapat dihasilkan induk matang yang tidak tergantung musim.  Selain itu, bagi organisme yang iteroparous masa reproduksi berikutnya dapat diperpendek dan ikan mampu dipijahkan secara berulang;  v)  mengendalikan kematangan gonad.  Pada beberapa jenis ikan yang cepat matang kelamin sehingga menghambat pertumbuhan tubuhnya, dapat dilakukan manipulasi untuk menghasilkan ikan triploid yang steril dan tumbuh lebih cepat.  Selain bermanfaat dalam bidang budidaya, triploidisasi juga berguna untuk menghambat interaksi genetis antara ikan budidaya dengan ikan di alam (Lorenzen, 2005).  Selain itu, dapat juga dihasilkan benih yang monosex untuk menghambat reproduksi di tempat budidaya;  vi)  menghasilkan ikan yang telah diubah genetisnya (genetically modified organisms, GMO) yang memiliki pertumbuhan berlipatganda (Refstie et al., 1999; Fletcher et al., 1999).  Selain itu, peran hatchery dalam melestarikan sumberdaya gen dapat ditingkatkan melalui metode seperti: bank gen hidup, gamete/embryo gene bank, dan gene bank with DNA (Dar et al., 2010).

Dengan kemampuan hatchery menghasilkan larva dalam jumlah besar dengan sifat genetis yang dikehendaki, teknologi ini berpotensi untuk dimanfaatkan dalam menyediakan benih ikan guna memulihkan sediaan di alam yang terancam punah.  Menurut Bell et al. (2008) ada tiga sasaran utama yang ingin dicapai melalui pelepasan benih hatchery ke alam yaitu:
Restocking – pelepasan juvenile hasil hatchery ke populasi di alam untuk memulihkan biomassa induk yang sudah sangat berkurang akibat overfishing ke taraf dimana populasi mampu menghasilkan rekruitmen baru secara teratur dalam jumlah yang cukup. 
Stock enhancement – pelepasan juvenile hasil hatchery ke populasi di alam untuk memperbesar pasokan juvenile di alam dan mengoptimalkan hasil tangkapan dengan mengatasi pembatas rekruitmen.  Pembatas rekruitmen sering dialami oleh larva-larva pelagis di perairan terbuka yang menyebabkan rendahnya rekrutimen meskipun tersedia cukup induk.
Sea ranching – pelepasan juvenile hasil hatchery ke alam agar tumbuh dan dapat dipanen setelah mencapai ukuran tertentu.  Tindakan ini dikenal sebagai “put, grow, and take” operations.  Dalam tindakan ini, juvenile yang dilepaskan tidak untuk menghasilkan induk, tetapi hanya sampai ukuran layak tangkap.
Ketiga sasaran ini dapat dicapai dengan mengembangkan hatchery yang mampu menyediakan larva dan juvenile dalam jumlah yang cukup.

3.  Perkembangan Stock Enhancement
Pelepasan benih yang dihasilkan di hatchery untuk memulihkan stok di alam telah cukup lama dilakukan.  Hatchery semacam ini telah dirintis sejak tahun 1870-an di Amerika utara dimana telur ikan salmon yang telah dibuahi dipindahkan ke bagian sungai yang telah punah ikan sediaan ikannya (Drawbridge, 2002; Gardner et al., 2004).  Kegiatan hatchery semacam ini dikenal sebagai conservation hatchery (Berejikian et al., 2008).  Meskipun pernah dihentikan oleh adanya berbagai kegagalan dan dampak negatif yang ditimbulkannya, belakangan ini kegiatan ini digalakkan kembali dan telah meluas ke berbagai species, terutama yang bernilai ekonomis tinggi dan terancam oleh overfishing (Blankenship and Leber, 1995).  Hingga saat ini, tercatat sekitar 80-an species yang terdiri atas ikan laut, moluska dan krustasea telah menjadi target stock enhancement (NOAA, 2008).  Meskipun kebanyakan masih dalam taraf penelitian atau pilot project, beberapa di antaranya sudah memasuki taraf komersial, terutama di Amerika Utara dan Jepang (Lorenzen et al., 2001).  Di Asia Tenggara, SEAFDEC telah lama melakukan stock enhancement di Filipina dan telah berhasil untuk species-species terancam seperti kimah raksasa, kuda laut, teripang, abalone, kepiting bakau (Okuzawa et al., 2008).  Di Indonesia, kegiatan stok enhancement terutama dilakukan di perairan umum, seperti sungai, danau, atau waduk yang ditebari benih ikan yang kelak dimanfaatkan oleh penduduk setempat.  Untuk kegiatan di laut, kegiatan seperti ini masih sangat terbatas dan baru sampai pada taraf penelitian.  Yang dapat disebutkan antara lain penebaran berbagai jenis benih ikan kerapu untuk memulihkan populasi ikan karang di P. Bali (Goreau, 2009).   Di NTT, usaha memulihkan sediaan lola (Trochus niloticus) pernah dilakukan selama tahun 1993-1996 yang melibatkan peneliti dari UNDANA dan NTU (sekarang CDU), menggunakan benih yang diproduksi oleh hatchery LON-LIPI di Ambon (Lee and Toelihere, 1997).

3.1.  Tantangan terhadap Stock Enhancement
Ada banyak kalangan yang meragukan bahwa akuakultur restorasi yang dimotori oleh teknologi hatchery akan berhasil mengingat banyaknya efek negatif dan kegagalan yang dialami dalam pendekatan ini.  Beberapa fakta yang dapat disebutkan antara lain:  i) Pengalaman historis memperlihatkan bahwa pelepasan benih ikan tidak serta merta menyebabkan peningkatan populasi ikan dewasa karena meskipun kelulushidupan larva di hatchery sangat tinggi, tetapi ketika di lepaskan ke alam, benih ikan yang bertahan hingga dewasa mungkin sangat rendah (Gardner et al., 2004; Helfman, 2007) ;  ii) Ikan dari hatchery kurang mampu beradaptasi dengan kondisi di alam sehingga kelulushidupannya rendah (IMST, 2001);  iii) ikan dari hatchery akan mengurangi keragaman genetis ikan di alam melalui inbreeding dan outbreeding depression,  dan hilangnya kompleks gen yang adaptif dengan kondisi setempat (Gross, 1998);  iv) pelepasan ikan hatchery ke alam dalam jumlah besar akan mengalahkan ikan sejenis di habitat alam dalam persaingan ruang hidup dan makanan (Gross, 1998);  v)  ikan dari hatchery menyebabkan peningkatan penangkapan ikan sejenis di alam (Leber, 2002);  vi) pelepasan benih hatchery akan mengundang lebih banyak predator ke lokasi pelepasan sehingga benih alam juga ikut tertangkap.

Selain dampak ekologis dan genetis tersebut, ada beberapa persoalan social-ekonomi berkenaan penggunaan teknologi hatchery dalam upaya merestorasi sumberdaya perikanan.  Permasalahan tersebut antara lain (Meffe, 1992):  i) hatchery membutuhkan biaya operasional yang mahal dan, dengan demikian, akan menyerap dana yang mungkin sebaiknya dimanfaatkan untuk restorasi habitat; ii) hatchery tidak sustainable dalam jangka panjang karena akan terus menerus membutuhkan subsidi pembiayaan dan energi;  iii) hatchery sesungguhnya menipu atau mengalihkan perhatian publik dari masalah sebenarnya dari penurunan hasil tangkapan yang bersumber dari eksploitase berlebihan sumberdaya.

Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi hatchery dicap sebagai tindakan sia-sia dalam upaya memulihkan biodiversitas di lautan.  Bahkan Meffe (1992) menyebut penerapan teknologi hatchery dalam stock enhancement sebagai “techno-arrogance” karena menempatkan teknologi untuk mengendalikan alam, dan sebagai “halfway technology” (teknologi setengah jadi) karena hanya berfokus pada gejala (ikan berkurang), dan mencoba mengobati gejala ini (dengan memasukkan lebih banyak ikan), tetapi tidak menyelesaikan akar masalah (overfishing dan hilangnya habitat).  Penggunaan benih hatchery untuk memulihkan populasi di alam dapat diibaratkan seperti “terus mentranfusi darah pada korban kecelakaan, tanpa terlebih dahulu menghentikan perdarahannya”.   Oleh karena itu, dalam upaya memulihkan stok perikanan, berbagai akhli lebih menganjurkan pendekatan restorasi habitat daripada menambah input berupa benih ikan ke lingkungan (Gray, 2001; Helfman, 2007).

Akan tetapi, restorasi habitat tidak merupakan akan jaminan pulihnya sumberdaya perikanan di suatu wilayah, meskipun perlindungan habitat telah dilakukan selama bertahun-tahun (Drawbridge, 2002; Secor et al., 2002).  Pengalaman memperlihatkan bahwa peningkatan populasi secara aktif juga sangat diperlukan dalam upaya memulihkan populasi di suatu habitat yang rusak (Ziemann, 2001; Rinkevich, 2005; Berejikian et al., 2008; Bell et al., 2008). 

3.2.  Pelepasan Ikan Hatchery ke Alam
Ada beberapa factor yang membuat restorasi habitat saja tidak cukup.  Faktor pertama berkenaan dengan effective population size (disimbolkan sebagai “Ne”) yaitu banyaknya individu yang mampu bereproduksi dalam populasi dalam setahun.  Jika Ne dalam populasi terlalu sedikit, maka peluang bertemunya individu yang matang kelamin dan melakukan pemijahan menjadi rendah.  Untuk species perairan yang kebanyakan broadcast spawner, dimana fertilisasi terjadi di luar tubuh, jarak antar individu atau kepadatan induk dalam suatu areal akan menentukan keberhasilan pemijahan dan fertilisasi.  Kepadatan induk yang rendah akan menghambat perbanyakan populasi; suatu fenomena yang dikenal sebagai Allee effects (Levitan and McGovern, 2005).  Berbagai jenis ikan dan invertebrata diketahui berkumpul bersama sebelum melakukan pemijahan.  Individu seperti lola (Trochus niloticus), misalnya, tidak akan memijah jika jarak antar induk matang beberapa meter jauhnya (Gimin, 1997).  Pada species semacam ini, individu-individu yang matang kelamin akan mendekatkan diri di suatu tempat melalui semacam “isyarat kimiawi”, selanjutnya pemijahan dipicu oleh individu tertentu dalam kumpulan tersebut dan dalam waktu yang sangat singkat seluruh individu dalam kumpulan tersebut memijah secara serentak (Gimin, 1997).  Pemijahan serentak tersebut akan meningkatkan konsentrasi gamet di dalam air selama beberapa saat sehingga peluang bertemunya sperma dan telur menjadi lebih besar untuk keberhasilan fertilisasi.  Jika jumlah induk terlalu sedikit, pemijahan mungkin masih dapat terjadi, tetapi konsentrasi gamet akan rendah dan kemungkinan telah hanyut oleh pergerakan air sebelum pembuahan sempat terjadi (Gimin, 1997).  Gimin (2005) mengemukakan bahwa populasi yang Ne nya terlalu rendah cenderung menunda masa reproduksinya.  Rasio sperma per telur yang ada di dalam air serta usia gamet akan menentukan keberhasilan pembuahan;   sperma dan telur harus dalam proporsi yang sesuai serta harus sudah bertemu dalam selang beberapa menit setelah dipijahkan (Gimin, 2006).   Persyaratan rasio dan usia gamet ini hanya dapat tercapai jika individu berdekatan satu sama lain dan memijah secara serentak.  Persyaratan jumlah individu matang kelamin yang ada di dalam populasi tidak akan dapat dipenuhi oleh suatu populasi yang telah mengalami overfishing.  Untuk populasi semacam ini, perlindungan habitat saja tidak akan memulihkan jumlah ikan sehingga harus dilakukan penambahan stock. 
Perlunya pelepasan benih hatchery ke alam juga dipengaruhi oleh kondisi kerusakan habitat di alam.  Jika habitat yang mendukung tahapan awal daur hidup, seperti mangrove atau estuaria yang menjadi daerah asuhan, sudah rusak atau mengalami modifikasi, maka meskipun cukup tersedia induk dalam populasi, rekruitmen tidak akan berhasil karena habitat larva atau juvenile sudah tidak ada (Blankenship and Leber, 1995; Bell et al., 2008). 

Alasan ketiga perlunya dilakukan pelepasan benih hatchery ke alam adalah jika genetic pool atau gen-gen yang adaptif dengan kondisi lokal telah hilang, maka perlu dilakukan introduksi gen baru melalui penebaran ikan (Anders, 1998).  Selain itu, meskipun dengan jumlah induk yang terbatas pemijahan dapat berhasil di alam, keragaman genetis yang berkurang akibat inbreeding atau outbreeding depression, akan mengurangi kemampuan populasi menghadapi perubahan di alam.  Pada kondisi seperti ini, pemasukan gen baru amat diperlukan.

4.  Penutup
Stok perikanan tangkap di Indonesia akan terus mengalami penurunan jika tingkat eksploitase saat ini tidak dikendalikan.  Untuk kondisi NTT, meskipun tingkat eksploitase masih dapat ditingkatkan, namun perlu perhatian untuk sumberdaya hayati tertentu seperti berbagai jenis invertebrate dan ikan-ikan karang yang populasinya terus berkurang.  Untuk organisme semacam ini, diperlukan upaya restorasi habitat dan meningkatkan rekruitmen melalui stock enhancement.    

Potensi overfishing dan kepunahan species di NTT cukup mendapat perhatian dari pemerintah pusat maupun lembaga-lembaga independent lainnya.  Keberadaan Balai Konservasi Perairan Nasional di Kupang menunjukkan kepedulian pemerintah akan peran penting perairan NTT dalam mendukung biodiversitas.  Demikian pula, keberadaan lembaga-lembaga seperti WWF dan TNC atau proyek-proyek kelautan, seperti COREMAP, secara implisit menunjukkan bahwa ada sesuatu yang perlu dilindungi di propinsi ini.  Selain itu, sebagai bagian dari segitiga karang dunia, sebagaimana dicanangkan dalam The Coral Triangle Initiative, perairan NTT mendapat dukungan dunia dalam konservasi ekosistem.    

Mengingat peran penting stock enhancement dalam memulihkan sumberdaya perikanan yang terancam, maka penerapan pendekatan ini harus segera dilakukan.  Untuk itu, diperlukan penelitian di bidang pengembangan teknologi hatchery terutama species-species terancam seperti berbagai jenis karang, moluska, krustasea dan ikan.  Untuk species-species seperti ini, hatchery konservasi merupakan suatu kebutuhan.  Dalam rangka mengembangkan hatchery semacam ini, maka foka penelitian harus diarahkan pada bagaimana menghasilkan benih dengan biaya serendah mungkin dan bagaimana melestarikan sifat-sifat genetis sumberdaya perikanan yang terancam punah.   Penelitian dasar seperti ini telah dirintis oleh UNDANA dan seharusnya tetap menjadi fokus penelitian di masa depan.  
Epilogue
Demikian pidato yang saya sampaikan, semoga dapat memberikan wawasan tentang rentannya lingkungan perairan kita akan tindakan kita yang kurang bersahabat.  Sekali ekosistem laut kita rusak, maka merupakan tugas yang luar biasa beratnya untuk mengembalikannya ke kondisi semula.  Dengan merawat alam berarti kita mempertahankan keberlanjutan hidup kita sebagai species utama di bumi ini.  Saya ingin menutup pidato ini dengan mengutip pendapat sebagai berikut:
“I believe that it is far more important to protect the remaining biodiversity that we have and that wealth protection is far more important than wealth creation” – John S. Gray-- (2001)

Terima kasih.  Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membimbing kita dalam ikut merawat alam ciptaan-Nya.  Amin.

Daftar Pustaka
Allan, J. D., Abell, R., Hogan, Z., Revenga, C., Taylor, B. W., Welcomme, R. L., and Winemiller, K. 2005.  Overfishing of inland waters. Bioscience, Vol. 55, No. 12: 1041-1051.

Anders, P. J.  1998.  Conservation aquaculture and endangered species:  can objective science prevail over risk anxiety? Fisheries, Vol. 23 (No. 11): 28-31.

Arnold, W. S. 2008.  Application of larval release for restocking and stock enhancement of coastal marine bivalve populations.  Reviews in Fisheries Science, 16(1-3): 65-71.

Bell, J. D., Bartley, D. M., Lorenzen, K. and Loneragan, N. R. 2006.  Restocking and stock enhancement of coastal fisheries:  Potential, problems and progress.  Fisheries Research, 80: 1-8.

Bell, J. D., Leber, K. M., Blankenship, H. L., Loneragan, N. R. and Masuda, R. 2008.  A new era for restocking, stock enhancement and sea ranching of coastal fisheries resources.  Reviews in Fisheries Science, 16 (1-3): 1-9.

Berejikian, B. A., Johnson, T., Endicott, R. S. and Lee-Waltermire, J. 2008.  Increases in steelhead (Oncorhynchus mykiss) red abundance resulting from two conservation hatchery strategies in the Hamma Hamma River, Washington.  Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 65: 754-764.

Creel, L. 2003.  Ripple effects: Population and coastal regions.  Population Reference Bureau (PRB) and Measure Communication. 8 p.

Dar, S. A., Ashraf, M., Khan, M. and Najar, A. M. 2010.  Conservation strategies for fish biodiversity.  4 p.

Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTT.  2007.  Laporan Tahunan 2007.  DKP NTT.

Drawbridge, M. A. 2002.  Chapter 11: The role of aquaculture in the restoration of coastal fisheries. In B. A. Costa-Pierce (Eds). Ecological Aquaculture: The Evolution of the blue revolution.  Blackwell Science, Oxford. pp. 314-336.

Fletcher, G. L, Shears, M. A. and Goddard, S. V.  1999.  Transgenic fish for sustainable aquaculture.  In N. Svennevig, H. Reinertsen and M. New (Eds). Sustainable aquaculture: food for the future?  A. A. Balkema, Rotterdam.  pp 193- 201.

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 1997.  Fisheries management.  FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries, No. 4. FAO-Rome, 82 p.

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 2009.  The state of world fisheries and aquaculture 2008.  FAO Fisheries and Aquaculture Department, Rome. 176 p.

Gardner, J., Peterson, D. L., Wood, A. and Maloney, V.  2004.  Making sense of the debate about hatchery impacts:  Interactions between enhanced and wild salmon on Canada’s Pacific Coast.  Vancouver, BC. Prepared for the Pacific Fisheries Resource Conservation Council.  187 p.

Gimin, R. 1997.  Reproduction and induced spawning of trochus, Trochus niloticus (Linnaeus).  MSc Thesis (unpublished).  Northern Territory University, Darwin-Australia.  165 p.

Gimin, R. 2005.  Reproduction and conditioning of the mangrove clam Polymesoda (Geloina) erosa (Bivalvia: Corbiculidae) (Solander, 1786).  PhD Thesis (unpublished). Charles Darwin University, Australia.  212 p.

Gimin, R. 2006.  The effects of salinity and fertilization on the percentage of normal larvae of the mangrove clam Polymesoda erosa Solander (1786).  Journal of Fisheries Sciences, VIII (2): 185-193.

Gimin, R. 2007.  Sustainable aquaculture as a supplementary livelihood for marginal coastal fisherfolk in East Nusa Tenggara.  Research and Development Bulletin, Vol.8 (No. 3): 56-64.

Goreau, T. 2009. Coral reef and fisheries habitat restoration in the Coral Triangle: the key to sustainable reef management.  Keynote speech World Ocean Congress, Manado, Sulawesi, Indonesia, May 11-16, 2009.

Gray, J. S. 1997.  Marine biodiversity: patterns, threats and conservation needs.  Biodiversity and Conservation, 6: 153-175.

Gray, J. S., 2001.  Marine diversity: the paradigm’s in patterns of species richness examined.  Scientia Marina, 65 (Suppl. 2): 41-56.

Greer, D., and Harvey, H. 2004.  Blue Genes: Sharing and conserving the world’s aquatic biodiversity.  Earthscan, London and International Development Research Centre, Ottawa. 231 p.

Gross, M. R. 1998.  One species with two biologies: Atlantic salmon (Salmo salar) in the wild and in aquaculture.  Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 5 (Suppl. 1): 131-144.

Hambler, C. 2004.  Conservation.  Cambridge University Press, Cambridge. 367 p.

Helfman, G. S. 2007.  Fish conservation: a guide to understanding and restoring global aquatic biodiversity and fishery resources.  Islandpress, Washington.  584 p.

Heppel, S. S., Heppel, S. A., Read, A J. and Crowder, L. B.  2005.  Chapter 13:  Effects of fishing on long-lived marine organisms.  In E. A. Norse and L. B. Crowder (Eds). Marine Conservation Biology: The Science of Maintaining The Sea’s Biodiversity.  Island Press, Washington. pp. 211-231.

Hickman, B. and Tait, M. 1997.  Where is Aquaculture’s next meal ticket coming from? Aquaculture Update, 17: 1-3.

Kaeriyama, M. 2008.  Ecosystem-based sustainable conservation and management of Pacific salmon.  Fisheries for Global Welfare and Environment, 5th World Fisheries Congress 2008. pp. 371-380.

Kay, R. and Alder, J. 2005.  Coastal planning and management. 2nd Ed. Taylor and Francis, London. 380 p.

Kopot, R. 2009.  Roadmap kelautan dan perikanan:  menuju swasembada yang kompetitif dan berkelanjutan serta mendorong produk-produk unggulan menjadi primadona dunia.  Keynote speech dalam Konferensi Akuakultur Indonesia 2009, Yogyakarta, 27-29 Oktober 2009.  Prosiding Akuakultur Indonesia 2009.  pp. 5-15.

Leber, K. M. 2002.  Advances in Marine stock enhancement:  Shifting emphasis to theory and accountability.  In R. R. Stickney and J. P. McVey (Eds). Responsible marine aquaculture.  CAB International. pp. 79-90.

Lee, C. L. and Toelihere, M. T. 1997.  Cooperative research into the biology of the topshell Trochus niloticus from northern Australia and eastern Indonesia – an end-of-project review.  In C. L. Lee and P. W. Lynch (Eds). Trochus: Status, hatchery practice and nutrition.  ACIAR Proceedings No. 79: 7-13.

Levitan, D. R. and McGovern, T. M. 2005.  The Allee Effect in the sea.  In E. A. Norse and L. B. Crowder (Eds). Marine Conservation Biology: The Science of Maintaining The Sea’s Biodiversity.  Island Press, Washington. pp. 47-57.

Lorenzen, K. 2005.  Population dynamics and potential of fisheries stock enhancement: practical theory for assessment and policy analysis.  Philosophical Transactions of The Royal Society B, 360: 171-189.

Morato, T., Watson, R., Pitcher, T. J., and Pauly, D.  2006.  Fishing down the deep.  Fish and Fisheries, 7(I): 24-34.

Myers, R. A. and Worm, B.  2003.  Rapid worldwide depletion of predatory fish communities. Nature, 423: 280-283.

Myers, R. A. and Ottensmeyer, C. A. 2005.  Chapter 5: Extinction risk in marine species. In E. A. Norse and L. B. Crowder (Eds). Marine Conservation Biology: The Science of Maintaining The Sea’s Biodiversity.  Island Press, Washington. pp. 58-79.

Norse, E. A. and Crowder, L. B. 2005. Why marine conservation biology? In E. A. Norse and L. B. Crowder (Eds). Marine Conservation Biology: The Science of Maintaining The Sea’s Biodiversity.  Island Press, Washington. pp. 1-18.

National Research Council (NRC). 2006.  Dynamic changes in marine ecosystems: Fishing, food webs, and future options.  The National Academies Press, Washington, D.C. 153 p.

Nellemann, C., Hain, S., and Alder, J. 2008.  In dead water-- Merging of climate change with pollution, over-harvest, and infestations in the world’s fishing grounds.  United Nations Environment Programme (UNEP), GRID-Arendal, Norway.  63 p.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). 2008.  Aquaculture for stock enhancement.  http://aquaculture.noaa.gov/news/stokenh.html accessed on 24/4/2010.

Okuzawa, K., Maliao, R. J., Quinitio, E. T., Buen-Ursua, S. M., Lebata, M. J. H. L., Gallardo, W. G., Garcia, L. M. B. and Primavera, J. H. 2008.  Stock enhancement of threatened species in Southeast Asia.  Reviews in Fisheries Science, 16 (1-3):  394-402.

Pauly, D., Christensen, V., Dalsgaard, J., Froese, R. and Torres Jr, F.  1998.  Fishing down marine food webs.  Science, 279: 860-863.

Pauly, D., Watson, R. and Alder, J. 2005.  Global trends in world fisheries:  impacts on marine ecosystems and food security.  Philosophical Transactions of The Royal Society B, 360: 5-12.

Preikshot, D. and Pauly, D. 2005.  Chapter 11: Global fisheries and marine conservation:  is coexistence possible?  In E. A. Norse and L. B. Crowder (Eds). Marine Conservation Biology: The Science of Maintaining The Sea’s Biodiversity.  Island Press, Washington. pp. 185-197.

Refstie, T., Rye, M. and Eknath, A. E. 1999.  Breeding programs.  In N. Svennevig, H. Reinertsen and M. New (Eds). Sustainable aquaculture: food for the future?  A. A. Balkema, Rotterdam.  pp.185-191.

Richmond, R. H. 2005.  Recovering populations and restoring ecosystems:  Restoration of coral reefs and related marine communities. In E. A. Norse and L. B. Crowder (Eds). Marine Conservation Biology: The Science of Maintaining The Sea’s Biodiversity.  Island Press, Washington. pp. 393-409.

Rinkevich, B.  2005.  Conservation of coral reefs through active restoration measures:  Recent approaches and last decade progress.  Environmental Science and Technology, 39 (12): 4333-4342.

Secor, D. H., Hines, A. H. and Place, A. R. 2002.  Japanese hatchery-based stock enhancement: Lessons for the Cheasepeake Bay blue crab.  A Maryland Sea Grant Report. Maryland. 46 p.

Shiva, V.  1999.  Who pays the price?  The shrimp industry, rich consumers, and poor coastal communities.  In N. Svennevig, H. Reinertsen and M. New (Eds). Sustainable aquaculture: food for the future?  A. A. Balkema, Rotterdam.  pp. 263-278.

Swick, R. A. and Cremer, M. C. 2001.  Livestock production: a model for aquaculture? Guest Lecture. In R. P. Subasinghe, P. Bueno, M. J. Philips, C. Hough, S. E. McGladdery and J. R. Arthur (eds).  Aquaculture in the Third Millenium.  Technical Proceedings of the Conference on Aquaculture in the Third Millenium, Bangkok, Thailand, 20-25 February 2000.  Pp. 49-60.

USAID SPARE, 2004.  Review of the status, trends and issues in global fisheries  and aquaculture, with recommendations for USAID investsments.  United States for International Development, Washington.  42 p.

Williams, M. J. 1999.  The role of fisheries and aquaculture in the future supply of animal protein.  In N. Svennevig, H. Reinertsen and M. New (Eds). Sustainable aquaculture: food for the future?  A. A. Balkema, Rotterdam.  pp. 5-18.

Wu, R. R. S. 1995.  The environmental impact of marine fish culture – Towards a sustainable future.  Marine Pollution Bulletin, 31: 159-166.

Ziemann, D. A. 2001.  The potential for the restoration of marine ornamental fish populations through hatchery releases.  Aquarium Science and Conservation, Vol. 3 (Nos. 1-3):  107-117.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar